Senin, 19 April 2010

Tesis Kematian

Begitu tipis antara hidup dan mati. Tanpa diduga tiba-tiba saja seseorang mati hanya karena sebab yang menurut akal sehat tidak perlu ia mati. Pun juga sebaliknya; kecelakaan berat yang menimpa seseorang tidak membuatnya mati, bahkan bisa sembuh dengan segala usaha yang dilakukan.
Memang, manusia sejak pertama kali diciptakan telah membawa takdirnya masing-masing, termasuk takdir kematian. Bahwa setiap manusia akan mati, itu pasti, itu takdir. Tapi, kapan ia akan mati, manusia tidak bisa memastikannya. Itu adalah hak prerogatif Tuhan.
Bagi sebagian orang, mati adalah sesuatu yang menakutkan. Takut mati dengan alasannya masing-masing. Tapi bagi sebagian yang lain, mati merupakan suatu episode yang ditunggu-tunggu. Mati itu mengasyikkan dan menyenangkan.
Mati atau kematian dalam terminologi filsafat adalah putusnya fungsi kemanusiaan dan kehambaan manusia di dunia. Ia tidak lagi bekerja (Marx), berpikir (Descartes), dan terlepasnya ruh ketuhanan dari raga (Aquinas). Tapi, bukan berarti ia mati dengan sebenar-benarnya mati. Ia tetap hidup di suatu alam di mana hanya ia dan Tuhannya berada. Maka, Freud berkata, tidak ada yang disebut “mati”. Yang ada hanya hidup dan hidup. Mengapa hanya ada hidup? Karena memang tidak ada dan tidak akan pernah ada mati/ kematian. Raga yang sudah tidak berfungsi secara organis, maka manusia harus hidup dengan ruhnya, ruh Tuhan. Bukanka ruh Tuhan tidak pernah mati?! Manusia selamanya hidup. Ia hidup di dunia raga dan di dunia ruh.
Kematian biasanya diikuti isak tangis keluarga, orang-orang terdekat/ tercinta, dan tetangga. Itu hal yang wajar, lumrah, karena mereka harus berpisah dengan seseorang yang dicintai. Ia tidak lagi bisa dilihat, dijumpai, diajak berbagi di alam dunia. Secara lahiriah, ia sudah tidak ada di dekat mereka. Ia sudah terkubur bersama tanah, dari mana ia berasal. Tapi, secara batiniah terutama bagi kerabat dan orang-orang terdekat/ tercinta, ia tetap hidup. Ia masih ada bersama mereka, di hati mereka, dan tersenyum.
Menangisi kematian terkadang diartikan secara salah oleh sebagian dari kita. Kematian seringkali ditangisi karena merasa bahwa seseorang tidak perlu mati, masih terlalu muda, belum saatnya berpulang. Dari sini kemudian muncul perasaan iba, kasihan terhadap seseorang yang telah mati. Menangisi kematian seharusnya menangisi diri kita yang masih hidup; bahwa kita sudah tidak lagi bisa bersamanya, sudah tidak bisa mendapatkan kasih sayangnya lagi. Kita seharusnya menyadari bahwa seseorang yang dengan tulus menyayangi kita sudah kembali kepada Tuhannya. Berpulang kepada yang berhak memilikinya. Seperti kita juga akan berpulang ke tempat dari mana kita berasal. Kita perlu menangisi diri kita sendiri; bisakah kita menjadi lebih baik tanpa kehadirian dirinya di samping kita, atau justru sebaliknya. Dalam terminologi agama, itulah ujian Tuhan terhadap hambanya. Tuhan menguji hamba-hambanya, salah satunya dengan memanggil pulang kembali seseorang yang kita cintai, seseorang yang sangat berharga dari diri kita. Inilah salah satu rahasia Tuhan, selain rezeki dan jodoh.